Monday, 13 July 2020

Buku Ajaib

Oleh: Nada Narendradhitta

“Nah anak-anak, tugasnya kelompoknya memerhatikan kupu-kupu ya,” kata ibu guru mengahkiri pelajaran, sekalian membereskan kertas yang berserakan di meja.

Luna, Fina, Korin, bertopang dagu, karena mereka menganggap di Taman Kupu-kupu banyak tawon dan lebah, mereka jadi malas ke sana.

“Mau bagai mana lagi? Itukan ibu guru yang suruh,” kata Luna sambil mengonde rambutnya yang panjang dan pirang.

Saat itu mereka sedang di kantin, menikmati makanan ringan sehabis pelajaran akhir selesai.

“Baiklah kalau begitu besok jam lima belas pas ya kita ke Taman Kota.” ujar Korin sambil menggigit cupcakenya.

“Coba ada unicorn atau paling tidak hewan fantasy lain, aku akan mempelajarinya dengan semangat, sangaat semangat,” kata Fina sambil menyisir rambut coklatnya yang sebahu dan tebal dengan jari.

Kedua temannya tertawa keras sampai keluar air mata.

“Fina, Fina, mana ada unicorn atau hewan fantasy lainnya? Kamu ini kebanyakan mengkhayal!” kata Luna terkikik geli.

“Iya Finaaa,” tawa Korin.

“Tidak apa-apa kalin tertawa!” ujar Fina ketus, mukanya merah padam, lalu ia pergi ke meja lain meningalkan keripik kentang yang belum habis.

Tawa kedua temannya tersumpal saat Fina pergi.

“Ada apa dengannya?” tanya Korin cemas, “Sepertinya dia sakit hati gara-gara kita tertawa” tambahnya.

“Iya,” Luna mengangguk setuju.

Keesokan harinya mereka berangkat ke Taman Kota. Korin dan Luna sudah dekat dengan Taman Kota, tapi tiba-tiba Korin bertanya, “Bagai mana kalo kita ke rumah Fina dulu? Kan rumah Fina dekat dengan Taman Kota!” tambah Korin semangat.

“Mmm, boleh juga!” jawab Luna mengangguk setuju.

Ting nong, ting nong, ting nong..

Sesampainya di rumah Fina, mereka membunyikan bel. Tidak ada jawaban. Mereka membunyikan bel lagi, lalu ada orang dari dalam membukakan pintu untuk mereka.

“Oh Luna dan Korin! Ayo masuk!” Ajak Ibu Fina dari ambang pintu.

“Finanya ada di mana, Tan?” tanya Luna bingung.

“Fina lagi di kamarnya, sepertinya lagi baca buku.” kata ibu Fina.

“Kalian ke atas saja, nanti tante siapkan kue,” Ibu Fina tersenyum ramah.

“Waah kue! Terima kasih banyak tante!” Korin menggosok tangan karena tidak sabar.

Mereka menaiki tangga pualam yang mewah. Di depan pintu kamar Fina, Korin kagum karena pintu itu berhias permata kecil-kecil dan bubuk-bubuk emas, gagang pintunya juga dari besi yang sangat bagus dan mengilap. Luna menghembuskan nafas pelan, lalu mengetuk pintu.

“Oh, iya siapa itu? Masuk!” suara dari dalam kamar terdengar tak acuh.

Saat mereka masuk, Fina terlihat sedang tengkurap di atas kasurnya sambil membaca buku. Ada kehenigan sesaat, sampai akhirnya Luna angkat bicara, “Eeh, maaf yang kemarin ya Fina,”

“Eh iya, maafkan kami,” tambah Korin sambil menunduk.

“Tidak apa-apa kok!” wajah Fina merona merah, ia malu karena memang seharusnya ia tidak semarah itu, “Aku kemarin memang terlalu menghayal,”

Fina meletakan buku bersampul merah marun di atas meja. Luna dan Korin saling pandang curiga setelah melihat buku tersebut.

“Masa buku fantasy doang aku percaya sih?” Fina seperti mengerti kebingungan kawannya, “tapi gak tau kenapa, kayak ada yang disembunyiin di dalam buku ini,”

“Oooh,” Korin hampir tertawa lagi mendengar penjelasan Fina yang seperti tidak masuk akal.

Luna menyengol Korin. Kemudian agar Fina tidak terlalu mendengar kikikan Korin, Luna bertanya, “Eh ngomong-ngomong, buku itu kamu dapat dari mana?”

“Aku dapat dari pamanku yang kerjanya di daur ulang kertas,” kata Fina memulai ceritanya, “Minggu lalu aku diajak ke pabriknya, karena ia mendapat banyak buku bekas yang masih bagus, dan sayang kalau harus didaur ulang, dan dia juga tau aku suka baca, jadi…”

“Aku baru tahu kalau kamu suka baca!” seru Korin.

“Ssst, Korin!” seru Luna sebal, “Teruskan Fina” kata Luna sambil menatap galak Korin.

“… Oke, tadi sampe mana ya? Oh iya, pamanku tau aku suka baca, jadi dia suruh aku memilih beberapa buku. Salah satu yang paling aku suka yang ini.” Kata Fina sambil menunjukan buku berwarna merah marun, dengan tekstur bulu halus di sampulnya. Di covernya tertulis dengan aksara kuno; Hewan-Hewan Fantasy dan Cara Mereka Berkembang Biak.

“Buku ini sangat tua, jadi aku penasaran,” Fina melanjutkan, “coba kalian lihat tahun penerbitannya. Tahun 1720. Ini sudah lama sekali lho teman-teman, lihat saja kertasnya, sudah tua begini…”

“Buku itu dari mana? Maksudku, pamanmu dapat dari mana?” Luna memotong penasaran.

“Nah, tuh kamu kan yang memotong penjelasan Fina,” kata Korin tersenyum jail.

Muka Luna merah karena sebal dengan Korin.

“Eh sudah-sudah,” kata Fina, “Mau aku jawab pertanyaannya gak?” kata Fina yang ingin menjawab pertanyaan Luna.

Luna tersenyum puas, Korin kelihatan kecewa. Saat itu juga ibu Fina masuk membawa senampan kue kering dan segelas jus jeruk segar, wajah kecewa Korin hilang, lalu ia lansung duduk di samping tempat nampan diturunkan.

“Kamu pasti suka kue dan jus ini, Korin.” kata ibu Fina tersenyum lalu keluar kamar.

“Tadi pertaanyaanku belum dijawab Fin,” Luna masih pensaran.

“Oh itu ya, aku jawab sambil makan kue aja yuk!” Fina menarik tangan Luna turun dari kasur yang mewah dan bertenda, ke arah meja kecil tempat nampan.

“Kalo tentang itu, pamanku dapat dari seseorang yang beli rumah tua di dekat hutan perbatas kota, menurutku rumah itu angker. Nah di dalam rumah itu terdapat buku-buku tua, pemilik rumah yang baru menjualnya ke pamanku untuk didaur ulang. Dan sisanya udah aku ceritain tadi,” jelas Fina sambil mengunyah kue kering.

Fina membuka halaman akhir buku tebal merah itu, “Aaaaaa!” tiba-tiba ia menjerit nyaring sambil menjatuhkan buku itu.

“Ada apa Fina!?” tanya Korin dan Luna berbarengan.

“Ini seperti mimpiku dua hari kemarin,” Fina menjelaskan terbata-bata, “D-di-sin-i a-da cermin tib-a- ti-ba,” katanya ketakutan

“Hah! mana mungkin?” Luna tidak percaya.

“Apa itu sebabnya kamu marah waktu kita bilang hewan fantasy tidak ada?” Korin mencoba memahami mimpi Fina, “Kamu bermimpi bertemu hewan-hewan fantasy?”

“Ya, seperti itu.” Fina senang namun masih kaget, “Ini persis seperti di dalam mimpiku. Coba kalian perhatikan, cerminnya tidak memantulkan kita”

Luna dan Korin sebenarnya tidak percaya tapi mereka penasaran lalu bergantian melihatnya.

“Cermin ini aneh sekali,” Luna heran.

Setelah mengamati kaca aneh itu, Korin mengembalikan buku ke Fina.

Fina menyentuh kaca itu dan tiba-tiba tersedot ke dalamnya. Korin dan Luna kaget bukan kepalang. Mereka refleks menyentuh kaca itu juga, dan mereka ikut tersedot.

Buku merah itu jatuh ke tangan Luna setelah mereka bertiga masuk. Awalnya mereka seperti berputar-putar dalam gelap, namun sesaat kemudian mereka sudah berada di hutan. Luna silau meihat sinar dari bunga raksasa berwarna putih keemasan bentuknya mirip bunga mawar. Korin mengamati lingkungan sekeliling. Mereka berada di kerumuna pohon-phon besar berwarna cerah. Ada pohon dengan daun berwarna merah keunguan, dan jingga gradasi pink. Mereka menginjak rumput berbentuk hati yang berwarna pelangi. Rumput-rumput itu kalau kena angin berputar-putar dan warna pelangi muncul. Saat angin sepoi-sepoi bertiup, angin itu sangat segar berbau jeruk.

Cukup sekali mengamati hutan aneh itu, mereka melihat Fina sedang terisak, mereka berlari menghampirinya.

“Hey, Fina!” kata mereka terengah karena berlari

“HAH! Kalian!” seru Fina lalu memeluk temannya itu “ku-kukira aku tidak akan melihat kalian lagi” katanya

“tadi kami refleks menyentuhnya” kata Korin balas memeluknya

“Iya Fina” kata Luna balas memeluknya juga.

Lalu tiba-tiba di semak dan naungan pohon besar ada sinar terang sekali seakan kalian lihat langsung ke matahari saat siang hari, mereka bertiga mendekat ke asal sinar itu sambil mengintip di sela jari. Lalu saat sinar sudah tidak terlalu terang mereka mengintip dari balik semak, coba tebak apa yang mereka lihat? UNICORN!

Mereka tidak percaya pada mata mereka sendiri, lalu mencubit pipi, sakit sekali.

“berarti ini bukan mimpi dong!” ujar Luna kagum.

Binatang itu sangat anggun, memiliki corn emas, rambut perak, dan kakinya sangat ramping sehingga kalian serasa bisa mematahkannya.

Unicorn itu pergi, mereka melihat ke sekeliling ada Peri, Pegasus, Centaur, Naga air, Monyet berbulu emas, Kappa, Hippogriff, jembalang (seperti patung kurcaci yang suka ada di kebun), dan banyak hewan fantasy lainya

“Bagai mana kalau kita tulis tentang ini semua? untuk kenang kenagan” jelas Korin

“He-eh” Fina dan Luna mengangguk serempak

Friday, 10 July 2020

Petualangan Ibu Kucing

Oleh: Nada Narendradhitta


Saat keluarga kucing bangun, mereka kaget karena jam sudah menunjukan pukul 11 siang! Mereka panik saat sadar bahwa mereka bukan di kamar rumah, melainkan di... ANGKASA!!

Mereka juga sadar semua yang ada di situ terbuat dari awan. Entahlah siapa yang tingal di sana. Saat ibu kucing dan anaknya sedang mengaggumi ruangan itu, pelayan masuk. Anehnya pelayan itu tidak terkejut samasekali, melainkan senang. Lalu dia berkata, “Selamat datang kembali di istana kucing!”


Ibu kucing heran, kenapa pelayan itu bilang kembali? Mereka berjalan mengikuti pelayan itu. Ibu kucing melihat tahta yang kosong. Pelayan membawa mereka ke kamar megah yang terletak di ujung ruangan. Pelayan itu mengetik sesuatu, dan pintu terbuka secara otomatis. Di sana ada sofa, meja kecil bervas bunga, TV, dan tempat tidur nyaman. Di tempat tidur itu berbaring ratu cantik walaupun sudah tidak muda lagi. Pelayang itu mengatakan sesuatu yang membuat ratu tersenyum.

Lalu pelayan menoleh kepada ibu kucing dan berkata, “Semua tabib


istana tidak bisa menyembuhkan ratu, tapi salah satu tabib meramalkan bahwa siapa saja yang muncul di ruangan itu, laki-laki maupun perempuan, bisa mengambil obat ratu, yaitu bunga yang tumbuh di awan tertinggi.” Sambil mendekat ke ibu kucing pelayan menambahkan, “tentu itu jika anda mau, karena sudah banyak orang yang menolak. Apakah anda bersedia?”

“Tapi bagaimana dengan anaku?” tanya ibu kucing.

“Anakmu akan baik baik saja bersama kami.” jawab pelayan.


Ibu kucing berpikir, “Mmm baiklah, tapi saya tidak tahu di mana letak gunung itu. Bagaimana saya bisa sampai ke sana?”

“Tidak masalah. Kami akan memberikan petanya.” jawab pelayan.

Keesokan harinya, ibu kucing berangkat dengan peta, teleskop, baju petualang, topi, sepatu, sekop kecil untuk menggali, tenda, dan tas ransel yang berisi 7 botol air mineral, 6 kotak nasi dan lauk, 2 bungkus cemilan, senter, tali juga lampu kecil untuk di dalam tenda.


Pada hari pertama, dia melewati hutan putih dengan berani. 1 cemilan habis, 3 kotak nasi dan lauk habis, 2 botol mineral juga habis. Ibu kucing sampai di kaki awan gunung itu, istirahat sebentar kemudian mulai memanjat.

Di hari yang kedua, 1 cemilan, 3 kotak nasi lauk, juga 3 botol air habis. Ibu kucing kehabisan bekal makanan dan cemilan, hanya tersisa 2 air mineral. Walaupun begitu, ibu kucing tetap semangat, dia terus mendaki sampai akhirnya menemukan bunga satu- satunya yang terletak di puncak gunung. Bunga itu terletak di tengah


danau yang dalam, yang tidak mungkin untuk berenang ke sana. Lalu ibu kucing mencari di sekeliling dan menemukan banyak pohon pisang. Ia membuat rakit dari pelepah pisang dan dikat menggunakan tali yang ada di dalam tas. Setelah berjuang selama dua jam mendayung dan kelelahan, akhirnya ia sampai ke tengah danau dan berhasil mencabut bunga tersebut.

Dengan perbekalan yang hanya 2 botol air mineral, ibu kucing turun gunung. Di tengah jalan ia melihat ada seekor anjing dan anaknya sedang sangat kehausan. Ibu kucing kasihan lalu ia memberi semua minuman yang


tersisa, karena dia merasa anak anjing dan ibunya lebih memerlukan.

Ibu kucing melanjutkan perjalanan menuruni gunung, tapi tidak lama kemudian ia kehausan dan berteduh di dalam gua. Tiba-tiba, muncullah Ibu dan anak anjing yang sebelumnya kehausan memberi ibu kucing alat transportasi ajaib.

“Tadi aku hanya ingin menguji kepedualianmu,” kata ibu anjing menjelaskan.

“Terimakasih banyak. Aku tidak menduganya.” Jawab ibu kucing.


“Kamu bisa menaiki alat ini. Kalau kamu haus, kamu bisa minta minum, kalau kamu lapar, kamu bisa minta makan dengan menekan tombol yang ada gambar minuman dan makanan. Dan semua alat kebutuhanmu ada di dalam.”

ibu kucing mengatakan terimakasih sekali lagi dan menaiki alat tranportasi itu, kemudian pulang.

Sesampainya di istana, anaknya sudah menanti ibu mereka. Ibu kucing memeluk mereka, dan memberi bunga kepada pelayan yang mukanya berseriseri, lalu bertanya kepadanya,


“Ehm, kenapa anda bilang selamat datang kembali waktu pertama kali kami datang?”

“Oh itu, karena dulu ibumu sahabat ibuku,” pelayan itu menjelaskan, “dulu anda dan saya masih berumur 1 tahun. Saya diberi tahu, saat perang kamu dan ibumu pergi.”

Mendengar cerita itu ibu kucing diam terkesima.

“Oke” kata pelayan tiba tiba, memecah keheningan, “waktunya kalian pulang sampai nanti dadah.”

TAMAT

MAKANAN TRADISIONAL INDONESIA: SAYUR GABUS PUCUNG

Oleh Nada Narendradhitta 9 tahun

Sayur gabus pucung banyak dijual di Bekasi, Jakarta, dan sekitarnya. Di Bekas,i dekat rumahku ada warung makan Betawi bernama RM. Haji Baka yang menjual sayur ini. Harganya Rp. 35.000 Semangkuk, rasanya pedas segar, dan pastinya enak!

Bahan gabus pucung:

Bahan pertama:

  • Ikan gabus
  • Jeruk nipis
  • Cabai rawit
  • Daun salam
  • Daun jeruk
  • Serai
  • Jahe
  • Lengkuas
  • Kluwek
  • Tomat iris
  • Gula
  • Garam
  • Air
  • Minyak

Bumbu halus:

  • Bawang putih
  • Bawang merah
  • Cabai merah kriting
  • Kunyit
  • Kemiri
  • Biji ketumbar
  • Pelengkap:
  • Irisan dau bawang
  • Bawang merah goreng

Cara:

Lumuri ikan dengan jeruk nipis dan garam untuk menghilangkan bau amis, marinasi ikan dengan bumbu selama satu jam. Panaskan minyak di wajan. Goreng ikan sampai garing. Haluskan semua bahan bumbu halus dengan blender, masukan tiga sdm minyak goreng ke dalam wajan, dan tumis bumbu halus hingga matang, lalu masukan juga semua bahan yang tersisa ke dalam wajan, masak sampai mendidih dan masukan ikan gabus, daaan sayur gabus pucung siap disantap.

Sumber resep dari: masakapahariini.com

Cerita unik:

Walaupun kuahnya warna coklat kehitaman seperti semur, tapi kuahnya tidak pakai kecap, melainkan kluwek, atau biasa orang betawi menyebutnya pucung. Oh iya ikan gabus cukup terkenal di kalangan orang Betawi karena jaman dulu kabarnya banyak rawa dan empang di daerah Betawi yang berisi banyak ikan gabus. Sehingga banyak masakan yang dibuat dari ikan gabus.

MENOLONG SI PUTIH

Oleh: Nada Narendradhitta

Aku dan adiku Percy sedang berjalan-jalan di hutan belakang rumah ketika Percy melihat dua mata misterius menyala hijau seperti naga yang pernah aku lihat di fillm fantasi.

“Kak,” kata adiku Percy yang saat itu mengenakan mantel hijau. Ada nada ketakutan dalam suaranya.

“Iya ada apa?” tanyaku sambil menoleh ke arah Percy. Angin dingin musim semi bertiup menggugurkan daun-daun kering dan membuat telingaku dingin seperti ketika aku membuka kulkas. Aku manarik hoodie mantel merah yang aku pakai untuk menutupi kepala.

“I-it-u a-pa?” Percy menunjuk sesuatu yang bergerak di bawah gelap naungan pohon besar.

Hah apa ya itu? tanyaku dalam hati sambil mendekati sesuatu itu dengan gugup. Awalnya aku mengira….. dan ternyata yang da di sana kucing putih. Sebelah kaki kucing itu lecet sampai kelihatan dagingnya. Kaki yang terluka diangkat, dan ia mengeong pelan.

Aku mendekatinya pelan-pelan dan aku mencoba mengusap kepalanya. Kucing itu menyundul tanganku seperti minta diusap lagi. Aku tersenyum, mengendongnya kemudian membawanya sambil lari ke arah rumah. Karena mau cepat-cepat mengobati kucing itu, sampai aku lupa ke Percy tertinggal di belakangku.

Masih sambil berlari, aku berteriak ke adikku, “Ini hanya kucing, tidak usah takut.”

Percy berteriak panik sambil mengikutiku, “Kakak, tunggu aku!”

Belum sampai rumah, Ginny, anjing perempuanku yang berwarna coklat muda, menggonggong menyambutku. Ketika ia melihat kucing yang aku gendong, gonggongannya menjadi semakin keras. Sepertinya ia cemburu dengan si kucing.

Sesampainya di dalam rumah aku bertanya ke ibu, “Ibu, di mana kotak obat?”

“Oh, Lucy, ada di atas lemari, memangnya kenapa? Percy jatuh ya?”

“Eh tidak sih cuma tadi aku nemu kucing” kataku menjawab cepat.

“Kak kenapa aku tadi ditinggal!” kata Percy yang masuk menyusul ke dalam rumah dengan kesal.

“Eh maaf Percy, tadi aku buru-buru,” aku meletakan si kucing putih di atas meja kemudian mengambil kursi untuk pijakan mengambil kotak obat di atas lemari.

Percy duduk cemberut tidak menjawab permintaan maafku.

“Nah sekarang bisak gak kamu tenangin Ginny yang terus menggonggong?” sambungku ke Percy.

“Gak mau ah! Aku masih kesel sama kakak!” kata Percy kemudian melengos pergi.

Sambil mengobati luka si kucing, Ginny tidak berhenti menggonggong. Membuat si kucing takut.

“Tidak usah cemburu Ginny. Ia tidak lama disini kok.” Kataku sambil mengusap Ginny agar dia tenang. Ginny perlahan-lahan menjadi tenang. Kemudian aku mengambil biskuit anjing dan melemparkannya kepada Ginny.

Beberapa saat setelah diobati, kucing itu berjalan tertatih ke hutan. Kalau saja kucing itu tidak terluka, mungkin ia akan berlari. Aku, Percy, dan Ginny mengikuti perlahan sesuai langkah si kucing.

Percy bertanya pelan, “Kak,”

Aku segera meletakan jari telunjuk di depan bibir tanda menyuruh Percy tidak bicara. Sementara Ginny seperti mengerti untuk ikut diam. Kucing itu tidak sekalipun menoleh ke belakang, seperti tidak peduli kami ikuti. Ketika sampai di tepi sungai, ia tiba-tiba berhenti.

“Eeh dia sepertinya takut air” kataku sambil memandang air itu.

“Baiklah aku akan menggendongnya,” kata Percy yang dari tadi tidak bicara.

Tiba-tiba Ginnny kembali menggonggong. Persis di akhir gonggongannya, dia melompat dari batu ke batu, seperti menemukan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang Ginny kejar.

Aku menyusulnya, dan di belakangku Percy bersama si kucing putih. Sesampainya di seberang, Ginny semakin keras menggonggong ke arah semak-semak.

“Sst Ginny” kata-ku sambil menenangkannya.

Semak-semak itu bergerak-gerak kemudian ada suara eongan. Muncul dari balik semak kucing cantik berwarna putih sama seperti si kucing yang aku tolong. Dia turun dari tangan Percy, dan saling menjilat. Kami bertiga sangat senang, kucing itu berkumpul bersama keluarganya lagi.



TAMAT

Thursday, 9 July 2020

HARI KEBERUNTUNGAN SUSAN

Oleh: Nada Narendradhitta

Pada suatu pagi, Susan Si Tupai sedang mencari makan. Hari itu sangat gelap walau masih pagi, Susan mendongak, ia melihat sesuatu di langit, “Oh, itu seperti meteor bentuk hati yang diceritakan nenek.” ujarnya kepada diri sendiri. Meteor itu menyala seperti api, berwarna pink, ekornya seperti buntut rubah, melayang dari barat ke timur, ke arah matahari yang tertutup awan. Matahari yang tertutup awan membuat meteor itu lebih kelihatan.

Tiba-tiba Lily Si Kelinci datang, “Hai Susan kamu sedang apa!?”

“Oh! Lily kau membuatku kaget!” Susan yang sedang bengong memandagi langit berseru sebal.

“Hehehe, maaf Susan” jawab Lily sambil tertawa, tawanya terdengar lembut.

“Ngomang-ngomong...” kata Susan.

“…Langit gelap sekali ya,” Lily melanjutkan.

“He-eh. Kamu lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan agak tidak sabar.

“Mmm kurasa aku tidak melihatnya” jawab Lily.

“Haloo kalian sedang apa?” tanya Peter Si Kura-Kura.

“Kakek lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan.

“Oh ya! Jam berapa? Katanya binatang yang melihat itu akan beruntung,” kata kakek Peter.

“Iya aku tadi pagi melihatnya, baru saja Kek!” kata Susan.

“Wow kau beruntung, Sus” kata Lily mulai mengerti.

Susan mengangguk tak acuh, ia mendongak matanya tertuju pada buah kenari besar di pohon.

Malam harinya Susan tersentak bangun karena ia haus. Dia pergi ke dapur untuk membuat minuman hangat, lalu ia melihat sesuatu, terang benderang di hutan. Dari rumah pohon yang besar, ia melihat melewati jendela dapur yang besar. Susan penasaran Lalu ia keluar mencari sumber terang itu, dia memanjat dari pohon ke pohon, dan apa yang Susan lihat?

Yang dia lihat adalah… Bintang!!

“Apa yang terjadi kenapa kamu di sini?!” tanya Susan penasaran.

“Aku jatuh.” Kata bintang itu, “Aku ingin kembali ke angkasa.”

“Mmm sepertinya aku bisa bantu kamu” kata Susan sambil berpikir, “Eh kamu tungu di sini dulu ya,” kata Susan lalu pergi.

Lima menit kemudian Susan kembali lagi membawa sesuatu yang cukup besar, “Ini adalah balon udara buatanku sendiri” kata Susan, “Kamu akan bisa terbang menggunakan ini…”

“Ooh kamu baik sekali!” seru sang bintang, “Ini hadiah untukmu.”

Si Bintang mengubah Susan menjadi… Ratu!! Ratu Bintang, sejak saat itu Susan tinggal di atas awan, dan saat Susan ingin bermain dengan temannya dia akan turun lagi ke hutan, dan kembali ke awan sesudah bermain.