Thursday 13 December 2018

Wednesday 17 October 2018

Kebohongan dan Urgensi Pendidikan Karakter

Suatu hari Nada menghampiri saya dan bertanya, “Pak, kok temen-temen aku banyak yang bohong sih?”

Jawaban dari pertanyaan itu tidak pernah sederhana.

Sore itu, Nada dan Safa melanggar janji untuk mengaji, saya berbicara kepada mereka di dalam kamar, “Kalian tahu apa yang bapak bangga pada kalian? Apa yang bapak senangi dari kalian?” saya bertanya retoris, untuk memuji kebaikan-kebaikan, untuk lebih dahulu melihat kelebihan mereka.

“Kalian tidak pernah berbohong ke bapak.” Kata saya kemudian, “Bapak tidak khawatir kalau kalian belum bisa membaca atau berhitung, bapak hanya khawatir kalau kalian berbohong dan tidak bertanggungjawab.”

Nada dan Safa diam. Menunduk. Saya tahu itu gestur tanda menyesal.

“Kalian lebih suka berteman dengan orang yang tidak menepati janji atau menepati janji?” kali ini saya tidak beretorika. Mereka diam. Saya mengulangi pertanyaan.

“Yang menepati janji.” Safa menjawab lebih dulu.

“Nada, apa kamu senang kalau bapak melanggar janji untuk membelikan raket padahal bintang kamu sudah seratus?”

“Nggak.” Nada menjawab.

“Karena kalian salah, apa kalian mau dihukum?” tanya saya lagi.

“Nggak.” Kata Nada.

“Nggak.” Jawab Safa.

“Oke. Kalian sudah tahu apa yang kalian lakukan itu tidak baik. Bapak kasih waktu kalian untuk berpikir. Sekarang kalian nggak boleh keluar kamar sebelum kalian menyadari itu dan mau menerima hukuman dengan rela sebagai konsekuensi.”

Saya bangkit meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Sebelum saya membuka pintu, Safa memanggil, “Pak.”

“Iya?” kata saya, berharap Safa telah menyadari kesalahannya.

“Konsewensi apa?” tanya Safa lugu.

“Kon-seK-uen-si, bukan konsewensi. Konsekuensi itu akibat.” Saya beralih ke Nada, “Kak, tolong jelasin.”

Saya keluar kamar sambil menahan tawa. Sayup-sayup saya mendengar Nada, “Ih Safa, kan waktu itu udah dijelasin bapak...”

Beberapa menit kemudian mereka keluar dan bilang kalau mereka siap untuk diberi hukuman.

Setelah kejadian itu, setelah saya memuji dan mengapresiasi kejujuranya, Nada bertanya mengapa ada beberapa temannya yang suka berbohong, maka saya tahu konteks pertanyaan itu.

“Anak-anak itu suka ikut-ikutan, kak.” saya memulai penjelasan dengan sederhana, “Bisa jadi mereka berbohong karena mencontoh dari orang dewasa.”

Nada kemudian menceritakan kasus kebohongan beberapa teman-temannya. Saya mendengarkan. Lumayan banyak yang ia ceritakan. Salah satunya ia bercerita tentang Bunga, bukan nama sebenarnya, yang berbohong kepada dia tentang kawan yang lain.

“Eh, Nada,” kata Bunga menghampiri Nada, “Masa aku tadi mau main ke rumah Mawar gak boleh masuk. Harus jawab pertanyaan dulu, ‘siapa nama kepala sekolah Mawar?’”

“Aneh banget.” Nada merespon, “Ya, jawab aja gak tahu. Kan kamu gak sekolah di sana.”

“Iya aneh ya?” Jawab Bunga.

Bunga kemudian pergi ke rumah Mawar dan tidak lama kembali menemui Nada. Ia memberikan secarik kertas kepada Nada, “Ini ada surat dari Mawar. Jawab langsung di situ aja.”

Nada membuka kertas yang di dalamanya ada tulisan, “Nada, kenapa kamu jelek-jelekin sekolah aku?”

“Aku nggak ngerti.” Nada bingung, “Maksudnya apa sih?”

Setelah dikonfrontasi, kemudian diketahui bahwa Bungalah yang mengatakan ke Mawar bahwa Nada menjelek-jelekan sekolahnya, Mawar pun sebenarnya tidak pernah menanyakan tentang siapa kepala sekolahnya kepada Bunga. Nada dan Mawar difitnah dan diadudomba oleh Bunga. Ya, itu kejadian nyata, walaupun terkesan seperti rekayasa di acara Rumah Uya.

Saya pernah mendengar cerita dari istri bahwa beberapa kawan Nada di sekitar perumahan berbohong atau mengajak Nada berbohong. Pernah suatu hari seorang kawan Nada bilang, ketika ditanya apakah berpuasa atau tidak, “Puasa. Tapi jangan bilang bundaku ya kalau aku minum.”

Kembali ke pertanyaan Nada di awal tulisan ini; mengapa anak-anak berbohong?

Saya adalah orang yang tidak percaya bahwa berbohong adalah naluri alamiah anak-anak. Maksud saya, saya percaya pada konsep bahwa kodrat awal anak-anak adalah berkarakter baik. Anak bukanlah kertas kosong, telah ada pada diri setiap bayi pokok kebaikan. Adalah naluri mereka untuk punya akhlak yang baik. Itulah yang disebut agama sebagai fitrah. Setiap anak dilahirkan sesuai fitrah, lingkungan yang menjadikan karakter terbaik mereka luntur. Maka saya tidak percaya ada anak yang naluri alamiahnya berbohong dan suka memfitnah.

Ada banyak alasan mengapa anak-anak suka berbohong. Saya lebih senang melihat dari sisi baik terlebih dahulu. Anak-anak berbohong bisa jadi karena daya imajinasi yang tinggi, melindungi teman, untuk mendapatkan keinginannya, ingin diperhatikan dan dipuji, mendapatkan pengakuan, menutupi kekurangan pada dirinya, tuntutan orangtua yang terlalu tinggi, meniru orangtua atau tayangan televisi, atau takut dihukum.

Mari kita melihat kebohongan anak pada ruangan yang lebih luas, melalui kacamata pendidikan. Jika diteliti lebih dalam, kita bisa melihat ada pola asuh yang keliru pada pendidikan anak. Inti dari pendidikan adalah menumbuhkan potensi karakter. Dan itu harus dimulai dari sejak dini. Pendidikan karakter pada anak adalah hal yang paling utama, lebih penting dari hanya sekedar mengejar nilai-nilai akademik. Mengutip Aristoteles, "Educating the mind without educating the heart is no education at all."

Kunci pendidikan karakter adalah pada kata “menumbuhkan”. Para pendidik yang mengerti tidak menyebut “pembentukan karakter”, atau “penanaman karakter” tapi “penumbuhan karakter”, karena pada hakikatnya karakternya sudah ada, tinggal ditumbuhkan. Bukan menaruh hal-hal yang di luar diri mereka, tapi menumbuhkan apa yang telah ada pada mereka. Istilah populernya inside-out bukan outside-in.

Karakter baik adalah fitrah yang telah ada pada anak-anak, maka seharusnya penumbuhan karakter itu tidak terlalu sulit. Kesalahan yang kerap terjadi pada pendidikan karakter anak usia 0-6 tahun adalah banyak orang tua menggunakan pendekatan behavioris. Padahal pendekatan itu dilakukan ketika anak beranjak dewasa. Pada anak usia dini, adab dan akhlak adalah keteladanan orang tua. Harapan yang dituju adalah anak-anak menyukai, terkesan, terpesona dengan adab yang baik. Anak-anak harus banyak melihat keindahan adab orang tua dalam berprilaku. Belum saatnya anak-anak dibebankan untuk harus “mempunyai” akhlak yang baik di masa ini.

Pada usia ini, ada orang tua yang membentak, bersuara kasar bahkan melotot kepada anak untuk berlaku baik, untuk tidak menaiki meja atau salat misalnya. Maksud hati mendidik akhlak baik tapi yang dipertontonkan ke anak adalah ketidaksopanan dalam berbicara. Anak-anak tidak bisa menerima ambiguitas ini.

Pada usia ini anak-anak seharusnya cinta kepada kebaikan sehingga mereka bisa rela dan senang hati melakukan itu di kemudian hari. Sulit rasanya mengajarkan anak untuk menghargai orang lain, namun mereka sering menonton pertengkaran kedua orang tua mereka. Sulit rasanya menyuruh anak-anak untuk jujur jika mereka tidak melihat contoh bahkan malah diperlihatkan prilaku/tontonan yang sebaliknya.

Dalam kasus berbohong, anak-anak sudah bisa berbohong sejak berusia tiga atau empat tahun. Anak usia balita belum terlalu mengerti bahwa berbohong adalah sesuatu yang salah. Mereka juga belum bisa membedakan secara tegas antara imajinasi dan kenyataan.

Selain mengedepankan teladan, pada usia ini belum diperlukan hukuman. Jangankan hukuman, menegur atau mengoreksi pun bisa menyebabkan mereka merasa malu, apalagi di depan orang lain. Untuk membantu anak belajar nilai-nilai atau berkata jujur, berilah respon yang tepat. Misalkan ketika anak berbohong agar tidak terkena masalah, para pakar mendorong untuk bias mempertimbangkan respon ini: “Ibu tahu kalau kamu merasa tidak enak gara-gara memecahkan gelas. Bantu Ibu mengelap air yang tumpah, dan lain kali kita memakai gelas plastik aja, ya?” Ini akan membuat anak merasa yakin bahwa tidak akan ada gunanya berbohong.

Adab dan akhlak sebagai aturan dan kesepakatan baru bisa diterapkan pada usia 7-10 tahun. Pada tahap ini saya menggunakan jadwal dan bintang sebagai apreseasi. Itulah sebabnya saya memberi hukuman kepada Nada. Karena untuk anak seumur Nada (8 tahun), salah satu alat bantu untuk menumbuhkan akhlak adalah melalui pendekatan behavioris; yaitu aturan dan kesepakatan. Nada telah mempunyai jadwal yang jika diikuti akan diberi apresiasi. Ia akan mendapat bintang yang di akhir minggu bisa ditukar dengan uang, dan di akhir bulan bisa ditukar dengan hal yang ia inginkan.

Nah, ketika ada aturan akhlak yang dilanggar seperti tidak menepati janji maka hukumannya bisa peniadaan apresiasi atau hal lain yang ada kaitannya dengan penyebab ia melanggar janji. Dalam kasus Nada ketika itu, ia melanggar janji karena terlalu asik menonton film. Maka hukumannya ia tidak bisa menonton film selama 3 bulan ke depan. Penetapan batas akhir hukuman juga merupakan hal penting agar tidak menyebabkan hukuman itu berlaku selamanya atau dilupakan beberapa minggu kemudian.

Untuk menumbuhkan karakter baik diperlukan pembiasaan. “Pembiasaan” adalah kata kunci selanjutnya dalam penumbuhan karakter, namun harus juga dilihat tahapannya. Ini adalah tentang penerapan yang benar pada waktu yang tepat. Mengabaikan tahapan dalam pendidikan akhlak hanya akan menumbuhkan sikap antipati di kemudian hari. Saya teringat kisah anak yang semasa kecil penurut, rajin salat, banyak hafal ayat-ayat Al Quran, namun ketika beranjak remaja dan dewasa perbuatan-perbuatan baik itu hilang, tidak dilakukan bahkan bertolak belakang. Karena mereka dipaksa melalui tahapan yang belum semestinya.

Sejujurnya saya sempat khawatir jika Nada berkawan dengan Bunga yang suka berbohong dan memfitnah. Namun di sisi lain saya tidak ingin mensterilisasi Nada dengan lingkungan atau teman-teman yang tidak ideal. Itu tidak pernah menjadi alasan kami melakukan homeschooling. Malah melalui homeschooling kami berharap bisa menerapkan pendidikan yang lebih autentik, bebas dan sesuai kebutuhan. Mendekatkan anak didik pada dunia yang sebenarnya, yang terkadang tidak ideal.

Malam itu, di sela-sela membaca ensiklopedia, saya bertanya ke Nada, “Kamu masih mau berteman dengan Bunga?”

“Masih.” Jawab Nada cepat.

Apa Nada tidak sakit hati dengan sikap Bunga? Saya bertanya-tanya dalam hati. Apa ia menerima sikap itu sebagai sesuatu yang wajar? Apakah dia akan mencontoh perbuatan Bunga?

“Kamu masih percaya sama Bunga?” saya penasaran.

“Nggak.” Kata Nada, “Aku juga gak gampang percaya sama temen-temenku yang lain.”

Saya diam, tidak menambahkan apapun. Saya tahu Nada telah mendapat pelajaran berharga dari peristiwa itu. Tinggal saya merenung tentang pelajaran apa yang bisa saya dapat.

Thursday 13 September 2018

Tuesday 13 March 2018

Drama Musikal, Homeschooling dan Kemalangan

Hujan deras mengguyur ketika kereta tiba di stasiun Bekasi. Nada yang awalanya tertidur di pangkuan, saya gendong ke luar gerbong, cipratan air yang tampias dari atap peron membangunkannya. Jam di HP menunjukan pukul 22:45.

“Sudah dimana, Pak?” kata saya kepada sopir taksi online melalui telpon.

“Ini dengan Nabila?” Ia tidak menjawab. Saya ingin mengiyakan dan menambahkan bahwa saya mantan JKT48.

“Ini Nailal, Pak.”

“Oh iya, maksud saya Nailal.”

“Sudah dimana, Pak?”

Saya memutuskan menerobos guyuran hujan dan menunggu di pinggir jalan. Dua detik menunggu, taksi datang. Pintu dibuka dan dari balik kemudi, sopir memastikan, “Dengan Pak Nailal?”

“Bukan. Saya Nabila. Mau handshake, Wota?” tentu saya tidak sejahil itu.

Beberapa kali saya bertemu dan berbicara dengan orang-orang baru. Hal menarik dari bertemu dengan orang baru adalah kita bisa menilai mereka dari pertanyaan atau cara mereka bertanya dan menjawab.

Beberapa jam sebelumnya, dalam gerbong kereta, saya memberikan tempat duduk kepada seorang wanita muda yang berdiri dekat pintu kereta. Setelah duduk di samping, sambil melihat Nada ia menyapa, “Nggak sama ibunya?”

Beruntung yang ditanya saya, kalau Ahok akan panjang ceritanya. Setelah saya jawab pertanyaan mudah itu, ia kembali pada posisi antara bertanya atau menyatakan, “Iya, anak perempuan emang lebih deket dengan ayahnya ya?”

Sambil tersenyum saya jawab, “Kebetulan tiga anak saya perempuan semua.”

Tipe sopir taxi bermacam-macam. Ada yang suka bicara dan bertanya, ada yang pendiam, atau laki-laki berumur 40an dengan kecenderungan bicara seperti perempuan ABG yang sedang PMS. Percayalah, saya pernah bertemu semua makhluk itu. Sopir saya kali itu santai. Saya perkirakan umurnya tidak jauh dengan saya.

Ia mulai bicara tentang kereta. Jadwal kereta, penumpang kereta, perbedaan kereta jaman dulu dan sekarang. Seketika kami mengenang masa-masa lalu dan menjelma menjadi dua orang Dilan. Berbincang tentang atap kereta, tawuran, dan telpon umum.

“Dari Taman Ismail Marzuki.” Kata saya menjawab pertanyaan.

“Nonton teater?”

“Iya.”

“Oh, saya juga sering ngajak anak saya nonton teater di sana.”

“Oya?” saya takjub, “Kirain cuma kenal teater FX Sudirman lantai 4?” tentu saya tidak seiseng itu juga. Kecuali kalau dia mengatakan sebagai ketua Wota Garis Keras JKT48 cabang Babelan.

Sejujurnya, jarang saya bertemu orang yang masih mau nonton teater, apalagi bersama anaknya. Saya sendiri baru pertama kali nonton Drama Musikal. Beberapa kali berperan dalam drama sekolah, baik waktu Aliyah atau kuliah, pernah juga membuat naskah drama, namun menonton drama di sebuah gedung teater adalah hal yang baru untuk saya, apalagi Nada.

Seminggu sebelumnya, kepada Nada saya memberi gambaran tentang apa itu seni teater dan beberapa triler Mimpi-mimpi Pelangi, drama yang akan ditonton. Ia bercerita kepada hampir seluruh teman-temannya dan pada hari keberangkatan tidak bisa tidur siang. Padahal tidur siang adalah salah satu sarat yang saya ajukan, karena acara berlangsung malam.

Isi dari drama tersebut sederhana, cerita tentang kemalangan. Anak-anak di lintasan rel kereta yang tidak bersekolah. Mereka tidak bersekolah bukan hanya karena pemerintah tidak bisa menjamin sekolah dan keperluan sekolah mereka, tapi karena orang tua mereka butuh bantuan anak-anak untuk bertahan hidup. Klise.

“Luna nggak sekolah, Pak?” Nada bertanya di tengah-tengah pertunjukan.

“Iya.”

“Sekolah di rumah?”

“Bisa juga.”

“Luna Homeschooling?”

“Well, gak seperti itu juga.”

Pertanyaan anak adalah teaching moment yang tidak selalu mudah. Sebuah sarana untuk menerapkan Learn to know, salah satu 4 pilar pendidikan UNESCO. Saya berpikir sebentar apakah perlu menjelaskan tentang Unschooling-nya John Holt yang mungkin bisa dikaitkan dengan apa yang dijalani Luna, Albi dan kawan-kawannya di Kampung Kuning, atau menjelaskan metode Homescooling yang sedang kami lakukan. Saya akhirnya berkata, “Luna dan orang tuanya mungkin tidak paham Homeschooling, walaupun apa yang mereka lakukan bisa juga dikatakan Homeschooling. Tapi intinya, baik Luna di Kampung Kuning yang tidak pergi ke sekolah ataupun Damar dari Kampung Biru yang pergi ke sekolah, mereka sama-sama mau belajar. Itulah intinya. Karena jaman sekarang, buta huruf bukanlah orang yang tidak bisa baca tulis, tapi mereka yang tidak bisa belajar, berkembang dan memperbaiki diri.”

Nada diam, mungkin dalam pikirannya, “Ngomong apa sih, Pak?”

Panitia mengumumkan bahwa acara rehat 15 menit. Saya membuka HP, ada sebuah pesan di Facebook yang masuk dari Haris, seorang juru kamera, kawan kuliah.

Haris: Woiii sehat…

Saya: Sehaaat. Lg dimana, Ris?

Haris: Sini di Cakung, di rumah. Lo dimane?

Saya: Lagi di TIM Cikini. Nemenin bocah nonton.

Haris: Oh. Lah tadi gue di sono liputan.

Saya: Lu liputan di Cikini tadi?

Haris: Deket situ. Di Warung Daun. Kalo gue tahu ketemu kite.

Saya: Ya elah. Gue padahal makan di depan TIM tadi sore. Sayang banget yak.

Haris: Gampang nanti ketemu. Gue main ke rumah lo, atau lo main ke mari.

Saya: Mo ngundang-ngundang kayaknya nih? Qiqiqi

Haris: Kagak. Belom dapet gue calon bini. Masih jomblo aja neh. Lo ada gak? Kenalin gue donk.

Saya tidak menjawab permintaan itu, karena saya tahu itu hanya basa-basi. Haris adalah single parent dengan seorang anak perempuan yang sudah remaja.

Masalah hidup berbeda-beda, dan tidak ada yang benar-benar tahu kemalangan masing-masing orang. Dari luar semua orang akan terlihat sama, tanpa ada yang tahu masalah apa yang sedang mereka hadapi. Maksud saya begini, seperti dalam Wonder atau 50/50 --dimana setiap karakter dalam film-film itu punya kemalangan masing-masing-- setiap orang ingin dimengerti, tapi sayangnya tidak ada orang yang benar-benar bisa merasakan kegelisahan hidup orang lain.

“Abis nganter orang, Pak?” saya bertanya ke sopir. Nada meneruskan tidur di pangkuan.

“Nggak. Dari nganter anak ke rumah sakit.”

“Oh, sakit apa?”

“Leukimia.”

“Inalillahi.” Jawab saya spontan.

Kemudian ia bercerita tentang obat, perawatan dan ketelatenan, “Gak kuat saya kalau bawa anak ke rumah sakit. Apalagi kalau mau disuntik. Mending saya keluar aja.”

Saya tidak menduga, orang yang saya kira Wota paruh baya dengan krisis identitas adalah seorang ayah dengan anak perempuan dua setengah tahun yang mengidap Leukimia yang sering ia ajak nonton teater.

Saya membayangkan, jika anak itu adalah Nada. Yang harus memangkas seluruh rambutnya karena kemo. Beberapa kali tusukan jarum untuk mencari pembuluh vena yang tipis. Mengaduh kesakitan tanpa punya bahasa lain selain menangis, dan keinginan terbesar dalam doa orang tuanya sepanjang malam adalah agar seluruh penyakit dan derita sang anak pindah ke tubuh mereka.

Mungkin setiap malam, sepulang dari kerja yang sudah sangat larut, Pak Julius menangis lirih dalam tiap doa dan ibadahnya. Dalam keadaan seperti itu, bahkan kesatria yang paling tangguh sekalipun berhak menangis.

Setiap orang ingin dimengerti, tapi tidak ada orang yang bisa benar-benar merasa kegelisahan hidup orang lain.