Saturday 16 December 2017

Festival Dongeng Internasional 2017

Minggu pagi itu saya tidak berencana pergi kemanapun, sampai istri saya menyarankan untuk mengajak anak-anak ke sebuah acara di Perpustakaan Nasional RI.

Harusnya hari itu kami menjenguk seorang kawan yang baru selesai operasi, tapi karena istri saya radang ternggorokan, rencana itu batal. Saya sedang leyeh-leyeh di kasur ketika istri saya memberitahu bahwa ada Festival Dongeng Internasional di Jakarta.

“Ajak anak-anak ke sana gih, Bang!” ia menyarankan.

“Sekarang?”

“Iya. Ini hari terakhir.”

Setelah menimbang beberapa alat transportasi, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan ojek dan kereta. Pukul 09:00 pagi, bekal makan siang disiapkan. Untuk orang yang bepergian tanpa membawa anak, perjalanan mendadak apalagi hanya ke Jakarta dari Bekasi adalah hal yang bisa dilakukan sambil juggling. Namun tidak begitu pergi dengan dua anak kecil. Bersama anak-anak, kejadian sederhana seperti menyiapkan bekal – memakai baju – menyiapkan kendaraan – pergi – sampai tujuan – bersenang-senang akan menjadi kegiatan yang membangkitkan keinginan masa lalu untuk melakukan vasektomi.

Hari itu kebetulan saya dan keluarga menginap di tempat Mamah —panggilan saya untuk mertua, jadi saya membawa anak-anak pulang untuk mengambil baju dan sepatu. Semua yang harus saya ambil di rumah saya catat di HP. Kartu Multitrip KAI, tiket langganan KRL Jabodetabek, menjadi barang yang saya catat paling awal. Sesampai di rumah, kegaduhan dimulai.

Nada: Pak, tolong kancingin baju dong!

Saya: Bentar ya, bapak lagi ngorder ojek dulu. Dari tadi gak bisa-bisa nih.

Safa: Aku pake rok ini aja ya, pak?

Saya: Jangan. Pake celana panjang aja biar gampang.

Safa: Pak, kakak mukul aku tuh.

Saya: Jangan berantem dong. Kita kan mau pergi.

Nada: Ih siapa yang mukul? Kamu tuh yang mukul.

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Kepala saya pecah.

Safa merajuk ingin dilayani. Nada bersikap seperti kakak yang tegas bahkan sedikit kejam. Saya sedang mengisi air minum di botol ketika istri saya mengirim pesan bahwa telur yang saya goreng lupa dimasukan ke dalam kantung bekal.

Setelah beberapa keributan itu, akhirnya saya dapat sinyal dan bisa memesan ojek. Di tengah jalan menuju stasiun, saya ingat kalau Kartu Multitrip kereta tertinggal di rumah. Bodoh! Saya mengutuk diri sendiri.

Stasiun Bekasi Timur Minggu pagi itu sepi. Saya membeli tiket dan menunggu kereta. 10 menit menunggu, kereta datang. Kami menelusuri gerbong kereta yang lebih lenggang tapi sia-sia. Semua gerbong penuh sumpek berisi manusia-manusia ikan asin. Pihak stasiun mengumumkan melalui pengeras suara untuk tidak memaksa masuk ke dalam kereta, lebih baik menunggu kereta selanjutnya. Saya menuruti, tanpa saran itupun, secara naluri tidak mungkin saya mengajak anak-anak masuk ke dalam kereta yang berjubel Prajurit Spartan.

Saya bertanya kepada keamanan stasiun, dijawab bahwa kereta selanjutnya akan datang satu jam lagi. Saat itu, jam di tangan menunjukan pukul 11:40.

Saya memandangi anak-anak, “Keretanya penuh. Kita naik kereta yang selanjutnya aja ya? Satu jam lagi. Bagaimana menurut kalian?”

Nada yang sudah mengerti tentang jam mengangguk, “Iya. Gak papa.”

Safa sepertinya clueless dan tidak menjawab apapun.

“Gimana kalau kita buka bekal kita di sini?” saran saya ke anak-anak.

Istri saya, begitu tahu harus menunggu satu jam untuk kereta selanjurnya, misuh-misuh di WA. Saya mematikan paket data.

Setelah menghabiskan bekal makan siang dan membunuh waktu sambil bermain tebak-tebakan, kereta datang. Pukul 13:15 kami masuk ke gerbong. Anak-anak masih terlihat excited dan senang, saya berhasil menjaga mood mereka. Itu yang paling penting, yang lainnnya bisa diatur.

Pukul 14:15 tiba di St. Pasar Senen setelah sebelumnya transit di St. Jatinegara. Segera saya memesan ojek untuk menuju lokasi. 15 menit kemudian kami sampai di Perpustakaan Nasional Ri di Jl. Salemba Raya. Tanpa bertanya ke satpam yang tidak jauh dari gerbang, saya mengajak anak-anak masuk ke gedung perpustakaan yang jaraknya sekitar 100 meter dari gerbang utama. Sepanjang jalan ke gedung, saya mencari petunjuk yang semestinya ada, tapi nihil. Agak aneh untuk acara internasional. Sesampainya di depan pintu gedung perpustakaan, pintu tertutup rapat. Saya baru sadar kalau salah tempat setelah kembali lagi ke gerbang utama dan bertanya ke satpam. Ternyata lokasi acara tersebut di Jalan Medan Merdeka Selatan, tepat di sebelah Balai Kota DKI. Oh, kebodohan macam apa lagi ini.

Acara dijadwalkan berlangsung dari pukul 08:30 sampai dengan 17:00 dan kami baru tiba pukul 15:00. Enam jam waktu yang saya habiskan dalam perjalanan, meladeni buruknya sinyal, kegaduhan bersama anak-anak dan kebodohan yang saya buat sendiri. Dengan waktu yang sama menggunakan pesawat, kami tentu sudah mendarat di Raja Ampat.

Kami sudah sangat terlambat, tapi acara kolaborasi dongeng internasional, dimana menampilkan seluruh pendongeng internasional yang hadir dalam festival itu, baru akan dimulai. Dibuka oleh Kak Aio sang Direktur Festival Dongeng Indonesia, ia mendongeng tentang monyet dan kelinci, yang inti kisahnya adalah tentang menghormati perbedaan. Dilanjutkan oleh Hori Yoshimi & J2net dari Jepang yang mencoba bercerita menggunakan bahasa Indonesia, cerita Doraemon, memperkenalkan karakter Doraemon, anak-anak senang terutama ketika mereka diajak bernyanyi lagu Doraemon versi Indonesia. Arthi Anand Navaneeth dari India melanjutkan dengan cerita tentang seekor gajah bernama Gajapati Gulapati yang terkena flu. Tanya Batt dari Selandia Baru bercerita tentang Kue Jahe yang dikejar-kejar banyak makhluk untuk dimakan, yang unik adalah ia mendongeng dengan menggunakan lagu, sambil bernyanyi, atau nge-rap. Seung Ah Kim dari Korea Selatan bercerita tentang bayi yang suka menangis dan harimau, yang pada akhir cerita ia kaitkan dengan awal mula ia senang mendongeng. Uncle Fat dari Taiwan selanjutnya bercerita tentang gadis kecil yang cantik dan melon, ia mengajak semua pengunjung berinteraksi dengan ceritanya, setiap kali ia bercerita, beberapa bagian penonton bersorak. Dan yang terakhir, Craig Jenkins dari Inggris Raya, bercerita tentang Raja Mustache, ia yang paling lucu dari semua pendongeng, penonton sangat terhibur. Ada seorang pendongeng yang tidak ikut sesi dongeng kolaborasi tersebut; Kiran Shah dari Singapura.

16:30 acara selesai dilanjutkan dengan sesi foto. 17:40 kami pulang. Kami beruntung, karena dari waktu yang sangat singkat itu bisa mendengarkan hampir seluruh pendongeng internasional yang hadir.

Ada hal yang lebih menyenangkan untuk saya; melihat anak-anak menikmati semua dongeng yang mereka dengarkan. Di dalam kendaraan pulang, anak-anak antusias mendengarkan saya mengulang semua cerita.

“Gimana? Apa kalian senang dengan acara tadi?” saya bertanya kepada Nada dan Safa.

“Senang!” mereka menjawab hampir bersamaan.

“Cerita apa yang paling kalian suka?”

“Emm.. Gajapati Gulapati.” Kata Nada.

“Kalo aku, Raja Mustache sama bayi yang suka nangis.” Safa memilih dua.

“Eh, aku juga suka Raja Mustache deh. Sama lagu Doraemon.” Nada menambahkan.

Saya percaya, dongeng adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”

Dengan dongeng saya tidak perlu memberatkan diri untuk menyampaikan moral of the story; pelajaran yang dapat diambil dari sebuah cerita, karena anak-anak dengan sendirinya memahami. Bahkan mereka mengerti tentang ironi dan sinisme dalam cerita. Di atas itu semua, dongeng yang baik selalu punya cara untuk mengendap di benak setiap orang. Setiap anak.

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein



Thursday 1 June 2017

Melatih Keterampilan Dasar

Diantara substansi tujuan dalam proses pendidikan anak adalah memberikan pondasi dan bekal agar mereka bisa menjalani kehidupannya dengan bahagia dan berkualitas. Kebahagiaan dan kualitas itu bukan hanya saat mereka menjadi anak, tetapi terus terbawa hingga mereka dewasa.

Berikut ini 10 keterampilan dasar yang penting dipelajari setiap anak sebagai Pondasi Kehidupan Bahagia & Berkualitas

1. Menjaga kesehatan dan keselamatan

Anak mengetahui dan menjalani pola hidup sehat berkaitan dengan pola makan, pola tidur, dan pola aktivitas yang sehat. Anak memiliki olahraga untuk membuat badannya sehat dan bugar, antara lain: renang dan bela diri. Anak juga memiliki keterampilan melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) baik untuk dirinya maupun sekitarnya.

2. Literasi

Anak memiliki keterampilan membaca dan mengerti isi yang dibaca, terampil membaca petunjuk, membaca resep, membaca rambu lalu lintas, membaca tabel dan informasi yang ada di sekitarnya.

3. Mengurus diri sendiri

Anak terampil mengatur waktunya sendiri, bisa membuat rencana dan menepati rencana yang dibuatnya, mengetahui koridor nilai baik-buruk, dan terampil mengambil keputusan dalam aneka kondisi.

4. Berkomunikasi

Anak terampil berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, mengajukan pertanyaan dan bercakap-cakap, berkenalan dengan orang baru, memberi dan menerima feedback, mengapresiasi, dan melakukan negosiasi dengan orang lain.

5. Melayani

Anak terampil melayani orang lain, dimulai dengan berkontribusi untuk keluarga melalui pekerjaan rumah (membereskan tempat tidur, menyapu, mengepel, mencuci, menyeterika, menyiram tanaman, dll) dan terlibat dalam aktivitas sosial.

6. Menghasilkan makanan

Anak menghargai makanan yang dihidangkan di makan dan terlibat dalam kegiatan memproduksi makanan, mulai bercocok tanam, mengolah bahan pangan, dan terampil memasak sebagai bekal hidup mandiri.

7. Perjalanan mandiri

Anak terampil menggunakan alat transportasi dan melakukan mobilitas dengan aman, mulai dari terampil naik sepeda, naik kendaraan umum, membaca peta, pergi ke manapun diinginkan dan dapat kembali ke tempat asal dengan aman.

8. Memakai teknologi

Anak terampil menggunakan gadget untuk membantu kegiatannya, mengenal batasan hukum & etik dalam pemakaian, menghindari ketergantungan & kecanduan, serta mampu menggunakan teknologi secara produktif.

9. Transaksi keuangan

Anak terampil berbelanja baik di toko modern maupun tradisional, mampu mengelola uang pribadi untuk konsumsi & saving, bisa melakukan transaksi melalui sistem keuangan, serta mengalokasikan uangnya untuk investasi.

10. Berkarya

Anak menjalani hidup yang bermanfaat, terampil membuat satu atau lebih output (tulisan, cerita/presentasi, video, musik, gambar, pekerjaan tangan) sesuai minat dan kemampuannya.

Sumber: 10 Keterampilan Dasar yang Penting Dipelajari Setiap Anak - Rumah Inspirasi

Beberapa Kegiatan:
Detail kegiatan bisa juga dilihat di link ini.

Menumbuhkan dan Merawat Karakter

Tidak mudah mengukur dan menunjukan nilai karakter anak karena belum ada variable valid yang bisa menjadi alat ukur yang praktis. Bagaimana cara mengukur keimanan, ketakwaan, kejujuran atau ketulusan? Atau bagaimana cara menunjukan keuletan, kerjakeras, tangguh, tepat waktu berupa nilai di atas kertas?

Dalam pendidikan karakter, paling tidak ada beberapa hal yang kami terapkan:
  1. Keteladanan dan membuat kebiasaan yang konsisten
  2. Membacakan Cerita
  3. Materi Pendidikan Karakter dari Komunitas Homeschooling
Saya percaya pada konsep bahwa kodrat awal anak-anak adalah berkarakter baik. Anak bukanlah kertas kosong, telah ada pada diri setiap bayi pokok kebaikan. Adalah naluri mereka untuk punya akhlak yang baik. Itulah yang disebut agama sebagai fitrah. Setiap anak dilahirkan sesuai fitrah, lingkungan yang menjadikan karakter terbaik mereka luntur. Maka saya tidak percaya ada anak yang naluri alamiahnya berbohong dan suka memfitnah.

Kunci pendidikan karakter adalah pada kata “menumbuhkan”. Para pendidik yang mengerti tidak menyebut “pembentukan karakter”, atau “penanaman karakter” tapi “penumbuhan karakter”, karena pada hakikatnya karakternya sudah ada, tinggal ditumbuhkan. Bukan menaruh hal-hal yang di luar diri mereka, tapi menumbuhkan apa yang telah ada pada mereka. Istilah populernya inside-out bukan outside-in.

Karakter baik adalah fitrah yang telah ada pada anak-anak, maka seharusnya penumbuhan karakter itu tidak terlalu sulit. Kesalahan yang kerap terjadi pada pendidikan karakter anak usia 0-6 tahun adalah banyak orang tua menggunakan pendekatan behavioris. Padahal pendekatan itu dilakukan ketika anak beranjak dewasa. Pada anak usia dini, adab dan akhlak adalah keteladanan orang tua. Harapan yang dituju adalah anak-anak menyukai, terkesan, terpesona dengan adab yang baik. Anak-anak harus banyak melihat keindahan adab orang tua dalam berprilaku. Belum saatnya anak-anak dibebankan untuk harus “mempunyai” akhlak yang baik di masa ini.

Pada usia ini, ada orang tua yang membentak, bersuara kasar bahkan melotot kepada anak untuk berlaku baik, untuk tidak menaiki meja atau salat misalnya. Maksud hati mendidik akhlak baik tapi yang dipertontonkan ke anak adalah ketidaksopanan dalam berbicara. Anak-anak tidak bisa menerima ambiguitas ini.

Pada usia ini anak-anak seharusnya cinta kepada kebaikan sehingga mereka bisa rela dan senang hati melakukan itu di kemudian hari. Sulit rasanya mengajarkan anak untuk menghargai orang lain, namun mereka sering menonton pertengkaran kedua orang tua mereka. Sulit rasanya menyuruh anak-anak untuk jujur jika mereka tidak melihat contoh bahkan malah diperlihatkan prilaku/tontonan yang sebaliknya.

Adab dan akhlak sebagai aturan dan kesepakatan baru bisa diterapkan pada usia 7-10 tahun. Pada tahap ini saya menggunakan jadwal dan bintang sebagai apreseasi. Itulah sebabnya saya memberi hukuman kepada Nada. Karena untuk anak seumur Nada (8 tahun), salah satu alat bantu untuk menumbuhkan akhlak adalah melalui pendekatan behavioris; yaitu aturan dan kesepakatan. Nada telah mempunyai jadwal yang jika diikuti akan diberi apresiasi. Ia akan mendapat bintang yang di akhir minggu bisa ditukar dengan uang, dan di akhir bulan bisa ditukar dengan hal yang ia inginkan.

Ketika ada aturan akhlak yang dilanggar seperti tidak menepati janji maka hukumannya bisa peniadaan apresiasi atau hal lain yang ada kaitannya dengan penyebab ia melanggar janji. Dalam kasus Nada ketika itu, ia melanggar janji karena terlalu asik menonton film. Maka hukumannya ia tidak bisa menonton film selama 3 bulan ke depan. Penetapan batas akhir hukuman juga merupakan hal penting agar tidak menyebabkan hukuman itu berlaku selamanya atau dilupakan beberapa minggu kemudian.

Untuk menumbuhkan karakter baik diperlukan pembiasaan. “Pembiasaan” adalah kata kunci selanjutnya dalam penumbuhan karakter, namun harus juga dilihat tahapannya. Ini adalah tentang penerapan yang benar pada waktu yang tepat. Mengabaikan tahapan dalam pendidikan akhlak hanya akan menumbuhkan sikap antipati di kemudian hari. Saya teringat kisah anak yang semasa kecil penurut, rajin salat, banyak hafal ayat-ayat Al Quran, namun ketika beranjak remaja dan dewasa perbuatan-perbuatan baik itu hilang, tidak dilakukan bahkan bertolak belakang. Karena mereka dipaksa melalui tahapan yang belum semestinya.

Hal selanjutnya yang dibiasakan dalam keluarga kami adalah membacakan cerita. Setiap malam sebelum tidur, atau kapanpun jika anak meminta dibacakan cerita. Banyak hal yang dapat dikembangkan melalui membacakan cerita, termasuk pengembangan karakter. Saya percaya, cerita adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”

Selanjutnya adalah memberikan materi pendidikan karakter dari komunitas homeschooling. Walaupun penting, namun ini hal yang paling tidak terlalu kami tekankan, karena sejatinya seperti yang diuraikan sebelumnya, karakter pada anak-anak berkembang dan terawat dengan keteladanan dan membuat kebiasaan yang konsisten selain juga membacakan cerita dari buku-buku yang bagus. Untuk materi pendidikan karakter, kami mengambil dari beberapa sumber seperti:

Beberapa kegiatan adalah seperti di bawah ini:
  • Membuat jadwal
  • Membuat jadwal ramadhan
  • Mendongeng tentang karakter baik
  • Membaca Al Quran
  • Menemani adik
  • Membaca buku
  • Memberikan sumbangan
Detail kegiatan bisa dicek di sini

Tujuan Portfolio

Portfolio ini adalah sebagai catatan atau dokumentasi atas pencapaian visi pembelajaran dalam enam tahun masa SD untuk Nada. Visi tersebut adalah memiliki karakter yang kuat, mengetahui bakat, minat dan bahagia menekuninya, serta bisa hidup secara mandiri, bermartabat, mulia guna menjadi perawat bumi.

Misi dalam kaitannya dengan ini adalah:
  1. Menumbuhkan dan Merawat Karakter
  2. Mengeksplorasi Minat dan Bakat
  3. Melatih Keterampilan Dasar

Thursday 23 March 2017

Hipnosis untuk Parenting

Anak-anak lebih mudah dihipnosis karena imajinasi mereka tinggi dan menyukai pengalaman baru. Nada (5 th) girang dan dengan penuh semangat mengatakan ke ibunya, “Bu, tangan kakak tadi jadi kayu.”

Memang sebelum itu, saya menghipnosis Nada dan mengatakan bahwa tangannya telah menjadi kayu. Pada kesempatan lain, saya membuat ia bisa merasakan tangannya terangkat ringan seperti ada tali yang menarik. Di kesempatan yang berbeda, hipnosis membuat ia melupakan angka empat. Ia menghitung seluruh jari tangannya berjumlah sebelas. Nada bergairah dengan pengalaman-pengalaman baru itu, tapi untuk pengalaman yang terakhir, tentu saja ibunya khawatir.

Saya tidak mempelajari hipnosis hanya untuk bersenang-senang. Saya menggunakan untuk mengurangi kram di urat leher ketika menyuruh anak-anak gosok gigi atau tidur siang. Saya juga menerapkan pada mereka untuk meringankan sesak nafas, tidak takut ketinggian, menjadi lebih percaya diri dan berbagai hal lain yang tak terbatas. Ya, saya menerapkan hipnosis dalam parenting. Anak-anak telah dianugrahi imajinasi yang tidak ada tandingannya, dan setelah mereka tahu bagaimana menggabungkan relaksasi dengan imajinasi, mereka akan memiliki bekal yang sangat berharga bagi kehidupan mereka.

Wednesday 22 February 2017

Sekolah Menjadi Orangtua

“Bapak, sepeda kakak dipinjem Bunga. Kakak mau main lagi.” Nada mengadu lagi tentang Bunga, tentu bukan nama sebenarnya.

“Ya sudah bilang sana.” Kata saya dari dapur. Nada memang kurang berani dengan Bunga, kawan di lingkungan rumah yang usianya lebih muda 2-3 tahun. Setiap kali Bunga meminjam sepeda, Nada selalu memberikan.

“Dia nggak mau dengerin. Bapak aja yang ngomong.”

“Itukan temen kamu, sepeda kamu, ya kamu yang ngomong. Kakak memang mau ngomong sama temen bapak, padahal bapak yang punya perlu?”

Nada diam.

Permainan logika itu terkadang berhasil. Tapi anak-anak selalu punya cara untuk merengek.
“Ya sudah. Menurut kakak bapak harus gimana?” Tanya saya.

“Bilangin Bunga suruh balikin sepedanya.”

“Bunga kan bukan anak bapak. Bukan tanggung jawab bapak dong. Bunga itu tanggung jawab orangtuanya.” Nada mendengarkan, saya melanjutkan, “Sekarang gini aja. Kakak bilang ke mamahnya Bunga, minta Bunga balikin sepedanya. Lagian memang kamu nggak liat bapak lagi cuci piring?”

Nada masih merajuk. Dengan masih membelakanginya, saya tetap merespon dengan jawaban terakhir.

Entah bagaimana caranya, beberapa menit kemudian, ketika saya melihat Nada di depan rumah, ia telah memainkan sepedanya lagi.

Edward de Bono dalam bukunya Children Solve Problems, melakukan percobaan dengan memberikan 9 tugas kepada anak-anak untuk diselesaikan. Setiap tugas dipilih dengan teliti dengan mengukur karakter yang berbeda-beda dari anak-anak. Kesimpulan dari buku tersebut adalah anak-anak bisa memecahkan masalah dengan sangat mudah. Cara mereka mengatasi masalah memang terkadang tidak praktis, tetapi cara-cara itu didapat dari kemahiran, semangat, dan imajinasi yang mengagumkan yang pantas membuat iri banyak orang dewasa.

Sebagai orang dewasa, saya banyak belajar dari mereka. Selain banyak membaca dari berbagai sumber tentang parenting, belajar dari pengalaman, belajar dari kesalahan dan belajar sambil melakukan adalah hal yang menjadi kemestian. Dan jika menjadi orang tua ada sekolahnya, maka pasti anak-anak yang menjadi sang maha guru.