Thursday 1 June 2017

Menumbuhkan dan Merawat Karakter

Tidak mudah mengukur dan menunjukan nilai karakter anak karena belum ada variable valid yang bisa menjadi alat ukur yang praktis. Bagaimana cara mengukur keimanan, ketakwaan, kejujuran atau ketulusan? Atau bagaimana cara menunjukan keuletan, kerjakeras, tangguh, tepat waktu berupa nilai di atas kertas?

Dalam pendidikan karakter, paling tidak ada beberapa hal yang kami terapkan:
  1. Keteladanan dan membuat kebiasaan yang konsisten
  2. Membacakan Cerita
  3. Materi Pendidikan Karakter dari Komunitas Homeschooling
Saya percaya pada konsep bahwa kodrat awal anak-anak adalah berkarakter baik. Anak bukanlah kertas kosong, telah ada pada diri setiap bayi pokok kebaikan. Adalah naluri mereka untuk punya akhlak yang baik. Itulah yang disebut agama sebagai fitrah. Setiap anak dilahirkan sesuai fitrah, lingkungan yang menjadikan karakter terbaik mereka luntur. Maka saya tidak percaya ada anak yang naluri alamiahnya berbohong dan suka memfitnah.

Kunci pendidikan karakter adalah pada kata “menumbuhkan”. Para pendidik yang mengerti tidak menyebut “pembentukan karakter”, atau “penanaman karakter” tapi “penumbuhan karakter”, karena pada hakikatnya karakternya sudah ada, tinggal ditumbuhkan. Bukan menaruh hal-hal yang di luar diri mereka, tapi menumbuhkan apa yang telah ada pada mereka. Istilah populernya inside-out bukan outside-in.

Karakter baik adalah fitrah yang telah ada pada anak-anak, maka seharusnya penumbuhan karakter itu tidak terlalu sulit. Kesalahan yang kerap terjadi pada pendidikan karakter anak usia 0-6 tahun adalah banyak orang tua menggunakan pendekatan behavioris. Padahal pendekatan itu dilakukan ketika anak beranjak dewasa. Pada anak usia dini, adab dan akhlak adalah keteladanan orang tua. Harapan yang dituju adalah anak-anak menyukai, terkesan, terpesona dengan adab yang baik. Anak-anak harus banyak melihat keindahan adab orang tua dalam berprilaku. Belum saatnya anak-anak dibebankan untuk harus “mempunyai” akhlak yang baik di masa ini.

Pada usia ini, ada orang tua yang membentak, bersuara kasar bahkan melotot kepada anak untuk berlaku baik, untuk tidak menaiki meja atau salat misalnya. Maksud hati mendidik akhlak baik tapi yang dipertontonkan ke anak adalah ketidaksopanan dalam berbicara. Anak-anak tidak bisa menerima ambiguitas ini.

Pada usia ini anak-anak seharusnya cinta kepada kebaikan sehingga mereka bisa rela dan senang hati melakukan itu di kemudian hari. Sulit rasanya mengajarkan anak untuk menghargai orang lain, namun mereka sering menonton pertengkaran kedua orang tua mereka. Sulit rasanya menyuruh anak-anak untuk jujur jika mereka tidak melihat contoh bahkan malah diperlihatkan prilaku/tontonan yang sebaliknya.

Adab dan akhlak sebagai aturan dan kesepakatan baru bisa diterapkan pada usia 7-10 tahun. Pada tahap ini saya menggunakan jadwal dan bintang sebagai apreseasi. Itulah sebabnya saya memberi hukuman kepada Nada. Karena untuk anak seumur Nada (8 tahun), salah satu alat bantu untuk menumbuhkan akhlak adalah melalui pendekatan behavioris; yaitu aturan dan kesepakatan. Nada telah mempunyai jadwal yang jika diikuti akan diberi apresiasi. Ia akan mendapat bintang yang di akhir minggu bisa ditukar dengan uang, dan di akhir bulan bisa ditukar dengan hal yang ia inginkan.

Ketika ada aturan akhlak yang dilanggar seperti tidak menepati janji maka hukumannya bisa peniadaan apresiasi atau hal lain yang ada kaitannya dengan penyebab ia melanggar janji. Dalam kasus Nada ketika itu, ia melanggar janji karena terlalu asik menonton film. Maka hukumannya ia tidak bisa menonton film selama 3 bulan ke depan. Penetapan batas akhir hukuman juga merupakan hal penting agar tidak menyebabkan hukuman itu berlaku selamanya atau dilupakan beberapa minggu kemudian.

Untuk menumbuhkan karakter baik diperlukan pembiasaan. “Pembiasaan” adalah kata kunci selanjutnya dalam penumbuhan karakter, namun harus juga dilihat tahapannya. Ini adalah tentang penerapan yang benar pada waktu yang tepat. Mengabaikan tahapan dalam pendidikan akhlak hanya akan menumbuhkan sikap antipati di kemudian hari. Saya teringat kisah anak yang semasa kecil penurut, rajin salat, banyak hafal ayat-ayat Al Quran, namun ketika beranjak remaja dan dewasa perbuatan-perbuatan baik itu hilang, tidak dilakukan bahkan bertolak belakang. Karena mereka dipaksa melalui tahapan yang belum semestinya.

Hal selanjutnya yang dibiasakan dalam keluarga kami adalah membacakan cerita. Setiap malam sebelum tidur, atau kapanpun jika anak meminta dibacakan cerita. Banyak hal yang dapat dikembangkan melalui membacakan cerita, termasuk pengembangan karakter. Saya percaya, cerita adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”

Selanjutnya adalah memberikan materi pendidikan karakter dari komunitas homeschooling. Walaupun penting, namun ini hal yang paling tidak terlalu kami tekankan, karena sejatinya seperti yang diuraikan sebelumnya, karakter pada anak-anak berkembang dan terawat dengan keteladanan dan membuat kebiasaan yang konsisten selain juga membacakan cerita dari buku-buku yang bagus. Untuk materi pendidikan karakter, kami mengambil dari beberapa sumber seperti:

Beberapa kegiatan adalah seperti di bawah ini:
  • Membuat jadwal
  • Membuat jadwal ramadhan
  • Mendongeng tentang karakter baik
  • Membaca Al Quran
  • Menemani adik
  • Membaca buku
  • Memberikan sumbangan
Detail kegiatan bisa dicek di sini