Suatu hari Nada menghampiri saya dan bertanya, “Pak, kok temen-temen aku banyak yang bohong sih?”
Jawaban dari pertanyaan itu tidak pernah sederhana.
Sore itu, Nada dan Safa melanggar janji untuk mengaji, saya berbicara kepada mereka di dalam kamar, “Kalian tahu apa yang bapak bangga pada kalian? Apa yang bapak senangi dari kalian?” saya bertanya retoris, untuk memuji kebaikan-kebaikan, untuk lebih dahulu melihat kelebihan mereka.
“Kalian tidak pernah berbohong ke bapak.” Kata saya kemudian, “Bapak tidak khawatir kalau kalian belum bisa membaca atau berhitung, bapak hanya khawatir kalau kalian berbohong dan tidak bertanggungjawab.”
Nada dan Safa diam. Menunduk. Saya tahu itu gestur tanda menyesal.
“Kalian lebih suka berteman dengan orang yang tidak menepati janji atau menepati janji?” kali ini saya tidak beretorika. Mereka diam. Saya mengulangi pertanyaan.
“Yang menepati janji.” Safa menjawab lebih dulu.
“Nada, apa kamu senang kalau bapak melanggar janji untuk membelikan raket padahal bintang kamu sudah seratus?”
“Nggak.” Nada menjawab.
“Karena kalian salah, apa kalian mau dihukum?” tanya saya lagi.
“Nggak.” Kata Nada.
“Nggak.” Jawab Safa.
“Oke. Kalian sudah tahu apa yang kalian lakukan itu tidak baik. Bapak kasih waktu kalian untuk berpikir. Sekarang kalian nggak boleh keluar kamar sebelum kalian menyadari itu dan mau menerima hukuman dengan rela sebagai konsekuensi.”
Saya bangkit meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Sebelum saya membuka pintu, Safa memanggil, “Pak.”
“Iya?” kata saya, berharap Safa telah menyadari kesalahannya.
“Konsewensi apa?” tanya Safa lugu.
“Kon-seK-uen-si, bukan konsewensi. Konsekuensi itu akibat.” Saya beralih ke Nada, “Kak, tolong jelasin.”
Saya keluar kamar sambil menahan tawa. Sayup-sayup saya mendengar Nada, “Ih Safa, kan waktu itu udah dijelasin bapak...”
Beberapa menit kemudian mereka keluar dan bilang kalau mereka siap untuk diberi hukuman.
Setelah kejadian itu, setelah saya memuji dan mengapresiasi kejujuranya, Nada bertanya mengapa ada beberapa temannya yang suka berbohong, maka saya tahu konteks pertanyaan itu.
“Anak-anak itu suka ikut-ikutan, kak.” saya memulai penjelasan dengan sederhana, “Bisa jadi mereka berbohong karena mencontoh dari orang dewasa.”
Nada kemudian menceritakan kasus kebohongan beberapa teman-temannya. Saya mendengarkan. Lumayan banyak yang ia ceritakan. Salah satunya ia bercerita tentang Bunga, bukan nama sebenarnya, yang berbohong kepada dia tentang kawan yang lain.
“Eh, Nada,” kata Bunga menghampiri Nada, “Masa aku tadi mau main ke rumah Mawar gak boleh masuk. Harus jawab pertanyaan dulu, ‘siapa nama kepala sekolah Mawar?’”
“Aneh banget.” Nada merespon, “Ya, jawab aja gak tahu. Kan kamu gak sekolah di sana.”
“Iya aneh ya?” Jawab Bunga.
Bunga kemudian pergi ke rumah Mawar dan tidak lama kembali menemui Nada. Ia memberikan secarik kertas kepada Nada, “Ini ada surat dari Mawar. Jawab langsung di situ aja.”
Nada membuka kertas yang di dalamanya ada tulisan, “Nada, kenapa kamu jelek-jelekin sekolah aku?”
“Aku nggak ngerti.” Nada bingung, “Maksudnya apa sih?”
Setelah dikonfrontasi, kemudian diketahui bahwa Bungalah yang mengatakan ke Mawar bahwa Nada menjelek-jelekan sekolahnya, Mawar pun sebenarnya tidak pernah menanyakan tentang siapa kepala sekolahnya kepada Bunga. Nada dan Mawar difitnah dan diadudomba oleh Bunga. Ya, itu kejadian nyata, walaupun terkesan seperti rekayasa di acara Rumah Uya.
Saya pernah mendengar cerita dari istri bahwa beberapa kawan Nada di sekitar perumahan berbohong atau mengajak Nada berbohong. Pernah suatu hari seorang kawan Nada bilang, ketika ditanya apakah berpuasa atau tidak, “Puasa. Tapi jangan bilang bundaku ya kalau aku minum.”
Kembali ke pertanyaan Nada di awal tulisan ini; mengapa anak-anak berbohong?
Saya adalah orang yang tidak percaya bahwa berbohong adalah naluri alamiah anak-anak. Maksud saya, saya percaya pada konsep bahwa kodrat awal anak-anak adalah berkarakter baik. Anak bukanlah kertas kosong, telah ada pada diri setiap bayi pokok kebaikan. Adalah naluri mereka untuk punya akhlak yang baik. Itulah yang disebut agama sebagai fitrah. Setiap anak dilahirkan sesuai fitrah, lingkungan yang menjadikan karakter terbaik mereka luntur. Maka saya tidak percaya ada anak yang naluri alamiahnya berbohong dan suka memfitnah.
Ada banyak alasan mengapa anak-anak suka berbohong. Saya lebih senang melihat dari sisi baik terlebih dahulu. Anak-anak berbohong bisa jadi karena daya imajinasi yang tinggi, melindungi teman, untuk mendapatkan keinginannya, ingin diperhatikan dan dipuji, mendapatkan pengakuan, menutupi kekurangan pada dirinya, tuntutan orangtua yang terlalu tinggi, meniru orangtua atau tayangan televisi, atau takut dihukum.
Mari kita melihat kebohongan anak pada ruangan yang lebih luas, melalui kacamata pendidikan. Jika diteliti lebih dalam, kita bisa melihat ada pola asuh yang keliru pada pendidikan anak. Inti dari pendidikan adalah menumbuhkan potensi karakter. Dan itu harus dimulai dari sejak dini. Pendidikan karakter pada anak adalah hal yang paling utama, lebih penting dari hanya sekedar mengejar nilai-nilai akademik. Mengutip Aristoteles, "Educating the mind without educating the heart is no education at all."
Kunci pendidikan karakter adalah pada kata “menumbuhkan”. Para pendidik yang mengerti tidak menyebut “pembentukan karakter”, atau “penanaman karakter” tapi “penumbuhan karakter”, karena pada hakikatnya karakternya sudah ada, tinggal ditumbuhkan. Bukan menaruh hal-hal yang di luar diri mereka, tapi menumbuhkan apa yang telah ada pada mereka. Istilah populernya inside-out bukan outside-in.
Karakter baik adalah fitrah yang telah ada pada anak-anak, maka seharusnya penumbuhan karakter itu tidak terlalu sulit. Kesalahan yang kerap terjadi pada pendidikan karakter anak usia 0-6 tahun adalah banyak orang tua menggunakan pendekatan behavioris. Padahal pendekatan itu dilakukan ketika anak beranjak dewasa. Pada anak usia dini, adab dan akhlak adalah keteladanan orang tua. Harapan yang dituju adalah anak-anak menyukai, terkesan, terpesona dengan adab yang baik. Anak-anak harus banyak melihat keindahan adab orang tua dalam berprilaku. Belum saatnya anak-anak dibebankan untuk harus “mempunyai” akhlak yang baik di masa ini.
Pada usia ini, ada orang tua yang membentak, bersuara kasar bahkan melotot kepada anak untuk berlaku baik, untuk tidak menaiki meja atau salat misalnya. Maksud hati mendidik akhlak baik tapi yang dipertontonkan ke anak adalah ketidaksopanan dalam berbicara. Anak-anak tidak bisa menerima ambiguitas ini.
Pada usia ini anak-anak seharusnya cinta kepada kebaikan sehingga mereka bisa rela dan senang hati melakukan itu di kemudian hari. Sulit rasanya mengajarkan anak untuk menghargai orang lain, namun mereka sering menonton pertengkaran kedua orang tua mereka. Sulit rasanya menyuruh anak-anak untuk jujur jika mereka tidak melihat contoh bahkan malah diperlihatkan prilaku/tontonan yang sebaliknya.
Dalam kasus berbohong, anak-anak sudah bisa berbohong sejak berusia tiga atau empat tahun. Anak usia balita belum terlalu mengerti bahwa berbohong adalah sesuatu yang salah. Mereka juga belum bisa membedakan secara tegas antara imajinasi dan kenyataan.
Selain mengedepankan teladan, pada usia ini belum diperlukan hukuman. Jangankan hukuman, menegur atau mengoreksi pun bisa menyebabkan mereka merasa malu, apalagi di depan orang lain. Untuk membantu anak belajar nilai-nilai atau berkata jujur, berilah respon yang tepat. Misalkan ketika anak berbohong agar tidak terkena masalah, para pakar mendorong untuk bias mempertimbangkan respon ini: “Ibu tahu kalau kamu merasa tidak enak gara-gara memecahkan gelas. Bantu Ibu mengelap air yang tumpah, dan lain kali kita memakai gelas plastik aja, ya?” Ini akan membuat anak merasa yakin bahwa tidak akan ada gunanya berbohong.
Adab dan akhlak sebagai aturan dan kesepakatan baru bisa diterapkan pada usia 7-10 tahun. Pada tahap ini saya menggunakan jadwal dan bintang sebagai apreseasi. Itulah sebabnya saya memberi hukuman kepada Nada. Karena untuk anak seumur Nada (8 tahun), salah satu alat bantu untuk menumbuhkan akhlak adalah melalui pendekatan behavioris; yaitu aturan dan kesepakatan. Nada telah mempunyai jadwal yang jika diikuti akan diberi apresiasi. Ia akan mendapat bintang yang di akhir minggu bisa ditukar dengan uang, dan di akhir bulan bisa ditukar dengan hal yang ia inginkan.
Nah, ketika ada aturan akhlak yang dilanggar seperti tidak menepati janji maka hukumannya bisa peniadaan apresiasi atau hal lain yang ada kaitannya dengan penyebab ia melanggar janji. Dalam kasus Nada ketika itu, ia melanggar janji karena terlalu asik menonton film. Maka hukumannya ia tidak bisa menonton film selama 3 bulan ke depan. Penetapan batas akhir hukuman juga merupakan hal penting agar tidak menyebabkan hukuman itu berlaku selamanya atau dilupakan beberapa minggu kemudian.
Untuk menumbuhkan karakter baik diperlukan pembiasaan. “Pembiasaan” adalah kata kunci selanjutnya dalam penumbuhan karakter, namun harus juga dilihat tahapannya. Ini adalah tentang penerapan yang benar pada waktu yang tepat. Mengabaikan tahapan dalam pendidikan akhlak hanya akan menumbuhkan sikap antipati di kemudian hari. Saya teringat kisah anak yang semasa kecil penurut, rajin salat, banyak hafal ayat-ayat Al Quran, namun ketika beranjak remaja dan dewasa perbuatan-perbuatan baik itu hilang, tidak dilakukan bahkan bertolak belakang. Karena mereka dipaksa melalui tahapan yang belum semestinya.
Sejujurnya saya sempat khawatir jika Nada berkawan dengan Bunga yang suka berbohong dan memfitnah. Namun di sisi lain saya tidak ingin mensterilisasi Nada dengan lingkungan atau teman-teman yang tidak ideal. Itu tidak pernah menjadi alasan kami melakukan homeschooling. Malah melalui homeschooling kami berharap bisa menerapkan pendidikan yang lebih autentik, bebas dan sesuai kebutuhan. Mendekatkan anak didik pada dunia yang sebenarnya, yang terkadang tidak ideal.
Malam itu, di sela-sela membaca ensiklopedia, saya bertanya ke Nada, “Kamu masih mau berteman dengan Bunga?”
“Masih.” Jawab Nada cepat.
Apa Nada tidak sakit hati dengan sikap Bunga? Saya bertanya-tanya dalam hati. Apa ia menerima sikap itu sebagai sesuatu yang wajar? Apakah dia akan mencontoh perbuatan Bunga?
“Kamu masih percaya sama Bunga?” saya penasaran.
“Nggak.” Kata Nada, “Aku juga gak gampang percaya sama temen-temenku yang lain.”
Saya diam, tidak menambahkan apapun. Saya tahu Nada telah mendapat pelajaran berharga dari peristiwa itu. Tinggal saya merenung tentang pelajaran apa yang bisa saya dapat.