Friday 3 April 2020

Merdeka Belajar dan Menghindari Bunuh Diri Masal

#MerdekaBelajar pada saat karantina seperti sekarang menemukan momentumnya. Beberapa orang yang memahami hal ini telah melakukan jauh-jauh hari secara mandiri dengan homeschooling. Saya hanya bagian kecil dari kelompok itu. Saya tidak sedang mengajak semua orang untuk melakukan homeschooling, tapi keadaan yang membuat kita semua melakukan ini. Namun di tengah terror pandemi, kebanyakan kita kepayahan menjalankan konsep ini. Kepala sekolah menginstruksikan para guru untuk membuat segala macam tugas dan ceramah yang akan dijejalkan kepada anak-anak melalui alat-alat yang mereka baru tahu, yang menyiapkannya memakan banyak waktu dan membuat mereka tertekan. Anak-anak diangap belajar jika mereka duduk tenang, mendengarkan guru dari media-media jarak jauh itu, dan mengerjakan dengan cekatan soal-soal latihan. Anak-anak, sebagaimana kebanyakan mereka yang berbeda-beda karakter, mulai tertekan. Tuntutan orang tua kepada sekolah yang terlanjur salah kaprah semakin memperparah beban anak-anak. Orangtua juga ikut tertekan. Dan semua ini adalah cara yang ampuh untuk melakukan bunuh diri bersama.

Menurut saya tidak masuk akal jika ada yang ingin memindahkan sekolah ke rumah dengan target belajar seperti di sekolah. Tidak adil bagi guru, orangtua juga anak-anak. Dalam proses homeschooling yang sesungguhnya saja, ada masa penyesuaian yang bahkan bisa memakan waktu yang tidak sebentar. Sebab kondisi di rumah berbeda dengan sekolah, dan orang tua bukanlah guru.

Hal awal yang fundamental yang mesti dilakukan saat ini adalah menurunkan ekspektasi. Dalam kondisi darurat seperti sekarang, kita tidak bisa mengharapkan hasil atau pola seperti kondisi normal. Mari pikirkan kembali tentang visi pendidikan, tentang hal-hal yang mesti dimiliki anak dalam hidup mereka yang masih panjang. Setelah itu, mari kita berdiskusi tentang pemahaman, strategi belajar, dan pengelolaan aktifitas belajar berbasis keluarga masing-masing.

Mengapa harus sesuai dengan konteks keluarga masing-masing? Karena itu adalah hal utama dan paling mendasar dalam melakukan homeschooling. Dimana belajar tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keluarga, tapi disatukan dan dimanfaatkan. Jadi keberhasilah homeschooling adalah menyatukan pembelajaran anak dengan budaya dan keseharian dalam keluarga.

Mari kita berbicara pada tatanan yang lebih praktis. Memanfaatkan budaya keluarga berarti mengenali kebiasaan baik dalam keluarga dan keahlian orangtua. Orangtua yang senang mendengarkan musik, menggunakan lagu dan dan instrumen musik sebagai media belajar. Orangtua yang suka membaca, akan mudah menularkan kesukaan pada literasi atau menjadikan literasi sebagai alat belajar anak. Begitupun orang tua yang memiliki keahlian bercocok-tanam, berolahraga, menonton, menulis dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang disukai orang tua dan keluarga itu itu bisa dikembangkan menjadi kegiatan dan alat belajar dalam proses belajar anak. Itulah yang dimaksud mengintegrasikan dan tidak memisahkan antara keseharian dan kehidupan keluarga dengan proses belajar.

Anak-anak bisa belajar melalui hal-hal yang ada pada keseharian mereka, melalui hal-hal yang ada di lingkungan keluarga dan rumah. Belajar Matematika bisa menggunakan batu yang mereka temukan di halaman atau menggunakan mainan mereka. Memperhatikan belalang yang hinggap di daun, kemudian mengamati cara ia makan dan berkembang biak juga bisa dijadikan sarana untuk belajar. Bahkan mengobrol pun bisa dijadikan sarana belajar. Obrolan anak dan orangtua terhadap satu hal merupakan proses belajar dengan kualitas tinggi. Disitulah keterampilan orangtua dalam membangun percakapan yang nyaman dan produktif diuji.

Homeschooling memberikan kebebasan kepada setiap keluarga untuk mengurusi pendidikan anak-anak mereka. Karena bebas dan tidak baku, maka ada juga model homeschooling yang mencontoh sekolah formal, atau school-at-home. Namun seringkali bentuk itu tidak efektif dan rumit. Karena sejatinya homeschooling memang berbeda dengan sekolah. Jadi jangan membayangkan homeschooling berarti anak-anak harus belajar secara online. Bukan berarti saya mengharamkan belajar online, tapi hanya menyandarkan pendidikan pada hal tersebut, sehingga menganggap jika tidak melakukan itu berarti anak-anak tidak belajar, adalah sesuatu yang salah.

Untuk itu, pemahaman orang tua tentang belajar harus diperluas, dan keterampilan merawat anak-anak perlu ditingkatkan. Orangtua yang baik adalah orang tua yang belajar. Begitulah seharusnya orang tua punya kesadaran pribadi untuk mengupgrade pemahaman mereka dalam melihat belajar dan pendidikan. Saat ini sudah ada banyak cara yang bisa ditempuh, tinggal ada kemauan.

Memperluas makna belajar berarti kita tidak lagi mengejar target kurikulum. Memperluas makna belajar berarti kita bisa melihat berbagai alternatif kegiatan belajar dan tidak memaksakan diri pada pandangan kaku bahwa belajar adalah mengerjakan mata pelajaran dan mengejar nilai ujian dan rapor.

Anak tekun pada sesuatu atau hobi seperti membaca, menggambar, bermain sepeda dan lain-lain, juga merupakan belajar; belajar mengenal diri sendiri (learn to be). Menjawab pertanyaan dan keingintahuan anak dengan serius kemudian membuatnya menjadi project juga merupakan belajar; belajar memahami (learn to know). Anak-anak melakukan hal-hal keseharian seperti memasak, mencuci pakaian, menjahit, memperbaiki mainan yang rusak juga merupakan belajar; belajar keterampilan (learn to do). Anak-anak bermain dengan kawan-kawannya, berinteraksi dengan kakek-nenek, sepupu, keponakan dan bisa mencari solusi atas masalah-masalah sosial yang mereka hadapi juga merupakan belajar; belajar hidup bersama (learn to live together). Pada masa ketika tempat kegiatan hanya di rumah, pilihan kita untuk mencari sumber belajar memang menjadi terbatas. Namun pilihan itu bisa diperluas ketika kita memperluas pemahaman akan makna belajar.